Dalam sejarah mitologi Yunani kuno, kotak pandora (pandora’s box) yang pertama kali disampaikan dalam puisi “Works and Days” oleh Hesoid (sekitar 700 SM), dalam kisah aslinya sebenarnya bukan “kotak” tapi “guci besar dari tanah liat (phitos)” yang diberikan Zeus kepada seorang Dewi yang bernama Pandora. Karena rasa keingintahuan Pandora akhirnya membuka kotak tersebut sehingga keburukan menyebar ke dunia, namun dengan cepat Pandora menutup kotak itu, hingga satu hal yang tertinggal di dalam kotak tersebut yaitu harapan (elpis). “Harapan” ini yang menjadi simbol atas penderitaan yang diderita oleh manusia sehingga memiliki kekuatan untuk bertahan.

Pandora’s box mendeskripsikan adanya dilema moral, dimana manusia memiliki kecenderungan tergoda untuk melakukan sesuatu hal/perbuatan yang dilarang (buruk) karena dorongan nafsunya, namun manusia juga memiliki akal yang diwujudkan dalam harapan untuk hidup damai, lebih baik dan berbuat kebaikan.

Lalu apa korelasi filosofi Pandora’s box dengan hukum? Hukum dalam kehidupan manusia digunakan untuk mengendalikan nafsu yang disimbolkan dalam tindakan destruktif dan disisi lain memberikan tujuan atas harapan akan keadilan.

Pertanyaan berikutnya, apa hubungan hukum dan etik? Kita mulai dari arti etik itu sendiri, menurut Ki Hajar Dewantara yang mengartikan etik (dalam konteks akhlak) adalah segala soal baik dan buruk dalam hidup manusia, yang meliputi pikiran, perasaan, dan perbuatan yang terwujud dalam ketertiban lahir dan batin. Selanjutnya hukum yang memiliki tujuan utamanya adalah mewujudkan ketertiban dan kedamaian sosial, menjamin keadilan bagi seluruh warga negara, serta melindungi hak atas individu maupun kelompok.

Metaforanya, etik yaitu mengingatkan manusia akan menahan diri dari tindakan yang merusak sistem (tatanan), sedangkan tujuan hukum yaitu mekanisme normatif yang mengatur agar tindakan manusia yang merusak sistem tidak menguasai kehidupan manusia seutuhnya. Sehingga etik mengarahkan hukum agar tidak menjadi perangkat atau alat prosedural semata, namun harus memiliki jiwa yang memuaskan rasa keadilan manusia.

Hukum harus berakar pada nilai etik yang mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai subyek dan bukan hanya sebatas obyek dalam pengaturan. Tanpa etik maka hukum akan menjadi seperangkat alat yang kaku, formalistik dan jauh dari rasa keadilan.

Tujuan hukum arkais sebagaimana yang telah kita ketahui dan dikemukakan oleh Gustav Radbruch diantaranya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Dalam perkembangannya, saat ini dikenal adanya tujuan hukum yang baru atau dikenal dengan konsep keadilan bermartabat yang direpresentasikan dalam keadilan restoratif. Menurut Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. teori keadilan bermartabat adalah sebuah teori hukum yang berdasar nilai-nilai luhur yang terdapat pada Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dengan kata lain, konsep keadilan bermartabat meletakan hukum harus berdasarkan keadilan dan martabat, sehingga hukum harus “memanusiakan manusia” sesuai martabatnya.

Hukum positif seperti mesin yang bekerja dalam aturan tertulis dengan prosedur mekanisme yang formal dan kaku, kemudian diberi legalitas oleh lambaga negara, sehingga sering kali terfokus pada kepastian dan mengorbankan nilai etik. Contohnya kasus nenek minah (tahun 2009), kasus prita mulyasari (tahun 2009), kasus nenek asyani (tahun 2014), kasus nenek saulina (tahun 2019) dan kakek samirin (tahun 2020), kasus-kasus tersebut secara langsung telah membuka mata hati dan pikiran masyarakat termasuk aparat penegak hukum mengenai hukum positif yang seharusnya berpihak kepada keadilan, terkadang dalam realitanya melukai rasa keadilan masyarakat yang dalam penerapannya dijalankan secara kaku dan tidak peka terhadap kondisi sosial-ekonomi pelaku tindak pidana.

Distingsi antara etik dan hukum, diantaranya:

  1. hukum menuntut adanya kepastian prosedural, namun etik menuntut adanya keadilan moral;
  2. hukum menuntut hakim untuk netral, namun etik terkadang menuntut hakim untuk tidak mengabaikan sisi kemanusiaan terhadap korban;
  3. hukum didasarkan alat bukti yang rigid diatur dalam hukum formil, namun etik didasarkan pada keadilan yang substantif dan esensial.

Akhirnya yang diharapkan adalah etik menekankan “apa yang seharusnya baik”, sedangkan tujuan hukum menekankan “bagaimana kebaikan itu diatur secara normatif dan dapat ditegakkan”, sehingga di satu sisi hukum harus adil secara prosedural dan di sisi lain hukum harus bermoral secara substansi.

Etik menjadi instrumen kompas moral agar hukum tidak disalahgunakan, sedangkan tujuan hukum adalah instrumen guna mewujudkan keteraturan sistem. Untuk mencegah benturan antara etik dan tujuan hukum, sebagaimana filosofi dari elpis (harapan) yang terkurung dalam pandora’s box, maka konsep keadilan bermartabat dapat diambil sebagai jalan keluar terbaik dari harapan akan keadilan yang dicita-citakan manusia berdasarkan pada orientasi terhadap pemulihan hubungan antara para pihak, memperbaiki kerugian yang diderita korban, adanya tanggung jawab pelaku bukan sekedar menghukum, mengedepankan penghormatan dan perlindungan terhadap martabat manusia.

-Sekian-

Sumber : https://suarabsdk.com/pandora-antara-etik-dan-tujuan-hukum-dalam-keadilan-bermartabat/